Posted by: sopyanmk | 24/03/2008

MEMBANGUN MASA DEPAN ISLAM : PESAN UNTUK PARA INTELEKTUAL MUSLIM –Lanjutan


ali.jpgKarangan : Dr. Ali Syari’ati

Dr. Ali Syari’ati Mazinani sering digambarkan sebagai ideolog dan arsitek “Revolusi Islam” Iran, disamping Imam Ayatullah Khomeini, Ayatullah Muthahari atau Ayatullah Mahmud Taliqani. Seluruh hidup Ali Syari’ati dibaktikan kepada Islam dan Ideologi Syi’ahnya, ia telah keluar masuk penjara sebagai konsekuensi aktivitas politiknya. Sejak menempuh pendidikan di Prancis, ia telah melibatkan dirinya dalam gerakan menentang rezim Syah. Penyambutan dengan penjara ketika ia pulang ke Iran pada tahun 1964 tidak menyurutkan kegiatan politiknya, selepas dari penjara ia tetap aktif di bidang politik yang menyebabkan ia dikeluarkan dari Universitas Masyhad, tempat ia mengajar. Ia kemudian mengalihkan aktivitasnya di pusat Islam Husaini Irsyad, tetapi kemudian lembaga inipun ditutup pemerintah, dan Syari’ati kembali meringkuk di penjara, yang kemudian memaksanya meninggalkan Iran menuju Inggris dan meninggal secara misterius pada tahun 1977.

Gagasan Syari’ati dalam tulisan-tulisan dan ceramahnya. memperlihatkan kepada kita akan peran yang diembannya sebagai arsitek sebuah revolusi. Di sana ia berbicara tentang penderitaan, penindasan dan kesyahidan. Tetapi dari situ pula ia membangun gagasan tentang pembebasan, kemerdekaan dan perjuangan rakyat melawan penindasan. Mengenai kesyahidan ini ia pernah berkata : Kesyahidan dalam budaya kita,…bukanlah tragedi,…bukanlah suatu cara,…melainkan tujuan itu sendiri.

Syari’ati adalah salah satu contoh dari generasi baru kaum intelektual dan aktivis politik berorientasi Islam yang hidup di hampir seluruh dunia Muslim saat ini. Adalah suatu fakta bahwa peranan kaum intelektual sangat besar dalam mendampingi kaum mullah (ulama tradisional) dalam proses Revolusi Islam Iran. Bahkan dalam tahap pembangunan sekarang ini, peran kedua kelompok ini tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu, patut dipahami oleh kita bagaimana interaksi antara golongan ulama dan intelektual memberikan arti yang sinergis bagi revolusi dan pembangunan Iran; bagaimana proses perubahan identitas keduanya dari dua kutub yang saling mengecam menjadi saling mengisi. Tulisan-tulisan Syari’ati mungkin dapat dijadikan salah satu referensi untuk mengkaji dan memahami persoalan tersebut. Syari’ati telah mengemukakan kerangka mengenai lahirnya suatu kelompok raushanfikr melalui telaah ideologi, filsafat dan ilmu pengetahuan.

Peranan raushanfikr, dalam pandangan baru yang dikemukakan Syariati berakar dari analisisnya tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan, filsafat, ideologi dan orang yang dinisbatkan pada ketiga hal tadi (ilmuwan, filosof dan ideolog). Menurut Syariati, filsafat dan ilmu pengetahuan tidak pernah bisa memulai suatu revolusi dalam sejarah, ideologilah yang selalu mengilhami, memimpin dan menghimpun revolusi, peperangan dan pengorbanan. Ideologi dalam keberadaanya membutuhkan kepercayaan, tanggung-jawab, keterlibatan dan komitmen.

Dalam pandangannya tentang agama, Syariati melihat dua bentuk Islam yang ditunjukkan sejarah. Pertama, ia adalah agama yang merupakan kumpulan dari tradisi dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif dari suatu masyarakat tertentu. Ia berisikan sekumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, dan kebiasaan dari suatu masyarakat yang telah mapan, dari generasi ke generasi. Kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasikan kekuasaan. Hal itu dilihat Syari’ati sebagai suatu kenyataan yang ada di Iran (juga di Indonesia), misalnya peringatan 10 Muharam dan berbagai upacara lainnya yang dinasionalisasikan dalam simbol-simbol nasional.

Wajah Islam yang lain yang tercatat dalam sejarah adalah Islam-Ideologi, yaitu suatu kepercayaan yang secara sadar dipilih untuk menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat berdasarkan kepada kalimah la ilaha illallah. Agama seperti itu menggerakan rakyat dan bangsa untuk mencapai cita-cita luhur melalui perjuangan dan kesyahidan.

Dalam kerangka seperti itulah Syari’ati berusaha menempatkan peranan dan memberikan definisi baru bagi raushanfikr. Dalam pengertian umum yang konvensional, yang termasuk kelompok ini adalah siapa saja yang mempergunakan otaknya, yaitu kaum intelektual, mahasiswa, sarjana, guru, dan kaum profesional. Tetapi bagi Syari’ati, raushanfikr adalah mereka yang secara sungguh-sungguh menganut ideologi yang dimilikinya secara sadar. Kesadaran inilah inilah yang membantunya untuk memilih suatu jalan hidup tertentu. Kesadaran ini pula yang membuat ia terpanggil dan sanggup berkurban untuk memenuhinya. Tidak seperti para ilmuwan dan filosof biasa yang tidak pernah memprakarsai gerakan dan membangun kesadaran masyarakat dari ketertindasan, raushanfikr adalah sebagaimana para nabi yang telah mengubah sejarah melalui gerakan dan revolusi.

Perbedaan Ilmuwan dan Raushanfikr

Ilmuwan

Raushanfikr

1. Hidup di menara gading, terpisah dari kehidupan rakyat.

2. memahami status quo dan memanfaatkan alam bagi kesejahteraan manusia

3. Mengajarkan fakta-fakta

4. Mempelajari teori-teori (sosial) dan prinsip-prinsip yang berlaku universal (sains)

5. Mengemban tanggung jawab objektif

1. Hidup bersama rakyatnya

2. mengajarkan mengapa dan bagaimana caranya berubah serta menjawab pertanyaan, “akan menjadi apa kita ini?”

3. Mengajarkan Kebenaran

4. memahami dan belajar dari penderitaan batin – budaya dan peradaban – masyarakatnya

5. Mengemban tanggung jawab sosial, membawa kepada kesadaran diri

Dalam abad dimana ilmu pengetahuan telah direduksikan menjadi netralitas, para pemikir dan ilmuwan telah mengurung dirinya dalam laboratorium, lembaga akademis, korporasi kapitalis dan pabrik-pabrik. Raushanfikr melihat Islam bukan sebagai Islam Budaya yang menghasilkan ahli Islamologi, melainkan Islam Ideologi yang menghasilkan mujahid.

Pemikiran-pemikiran Syari’ati tersebut setidaknya memberikan kesadaran bagi kita akan pentingnya memahami Islam dan persoalan kehidupan sebagaimana harusnya, sebagaimana yang diajarkan Allah melalui para Rasul-Nya, melalui kacamata keimanan yang lurus. Sampai saat ini ghazwatul fikr yang dilancarkan syaithan dan pendukungnya telah berhasil menggeser paradigma (cara pandang) kaum Muslimin terhadap Islam kepada pola pikir barat yang memang berbeda dengan cara pandang Islam. Misalnya istilah ilmu dalam sudut pandang barat adalah sekedar pengetahuan untuk penguasaan alam, bagi Islam, ilmu mempunyai pengertian dan tujuan yang lebih mulia dan suci sehingga yang disebut ulama adalah orang berilmu sekaligus orang yang takut kepada Tuhannya. Begitu juga dengan pemahaman mengenai sistem politik (negara), sistem pendidikan, sistem ekonomi, dan semua hal yang berkaitan dengan kita, baik yang bersifat makro atau mikro, merupakan tanggung jawab kita semua untuk menggali sekaligus mengembalikan kepada pemahaman Islam yang benar. Mengembalikan konsep Islam kepada yang sebenarnya ini merupakan langkah pertama bila kita ingin berperan sebagai raushanfikr yang memberikan kesadaran bagi masyarakat.

Buku Membangun Masa Depan Islam : Pesan untuk Para Intelektual Muslim ini memuat analisis Syari’ati mengenai kaum cerdik pandai yang terbagi dua ini; kaum intelektual yang memanfaatkan pengetahuan teoritis dan praktis mereka, dan kaum yang tercerahkan (raushanfikr) yang memikul tanggung jawab sosial dan memainkan perannya sebagai nabi-nabi sosial.

Buku ini memuat tiga kuliah, yang salah satunya terbagi dalam dua bagian; bersama-sama mereka menyuarakan tanggapan Syari’ati terhadap apa yang dianggapnya krisis dunia Islam. Menurutnya kaum Muslim sekarang ini membutuhkan suatu : kebangkitan-kembali Islam” yang digerakan oleh para pemikir Muslim yang tercerahkan. Kuliah pertama dengan judul “Dari Mana Kita Mesti Mulai” membicarakan ciri-ciri pemikir semacam itu. Kuliah kedua dengan judul “Apa yang Harus Dilakukan” terbagi menjadi dua bagian; pertama mengemukakan alasan mengapa suatu kebangkitan sangat diperlukan, bagian kedua menawarkan suatu program praktis untuk memprakarsai sebuah rencana tindakan bagi Husayniah Irsyad, yaitu lembaga pendidikan yang dibantunya untuk berdiri pada tahun 1967. Kuliah ketiga dari kuliah ini merupakan studi kasus yang diambil dalam sejarah Rosulullah yang tercatat dalam surah Ar-Ruum tentang kekuatan Islam dan cara yang diambil agar dapat mengalahkan kekuatan Islam pada masa itu; kekuatan Sassaniah (Persia) dan Byzantium (Romawi).

Sungguh menarik melihat paparan Syari’ati mengenai Surat Ar-Ruum, yang menurutnya, ia mengemukakan surat ini untuk meyakinkan dan menyemangati mereka yang percaya bahwa Al-Qur’an tetap hidup. Surah Ar-Ruum ini, yang menurut Syari’ati sangat pantas diturunkan pada masa sekarang ini karena sesuai dengan ciri-ciri zaman masa kini, mengandung pesan luar biasa yang memberikan dorongan dan hidup kepada individu masa kini yang bertanggung jawab –terutama orang-orang yang tercerahkan (raushanfikr)- yang dengan penuh semangat dan gigih berjuang untuk membawa pengetahuan dan kesadaran kepada anggota masyarakat tertentu yang menderita.

Surah ini merupakan contoh yang digunakan untuk menegaskan kenyataan bahwa Al-Quran tetap hidup sementara yang lainnya berubah. Al-Quran, firman Allah, tetap tidak berubah sepanjang terjadinya pembaharuan dan evolusi. Ia dapat diterapkan di segala tempat dan waktu – tanpa memandang politik, budaya dan golongan sosial – Al-Quran akan menuntun kebebasan untuk setiap individu yang sadar.

Ayat 1-4 dari surah Ar-Ruum, yang menurut Syari’ati merupakan inti surah, menceritakan tentang peristiwa dan ramalan pada masa itu. Pada saat dimana dunia dikuasai oleh dua negara adikuasa yang saling bermusuhan; kerajaan Persia dan Romawi. Betapa berkuasanya mereka sehingga digambarkan tidak ada sejengkal tanah yang tidak dibawah kekuasaan kedua negara tersebut kecuali tanah tersebut dipandang tidak berharga dan bernilai strategis. Persia, pada saat surah ini turun, baru saja memenangkan peperangan dengan musuh besarnya tersebut.

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Alif, Laam, Miim. Bangsa Romawi telah dikalahkan di negeri tetangga. Namun setelah kekalahannya itu, mereka akan mendapat kemenangan kembali pada sepuluh tahun kemudian (soal ketentuan kemenangan yang pertama dan terakhir itu adalah urusan Tuhan) pada waktu itu orang-orang yang beriman menjadi gembira. (QS 30:1-4)

Ayat 1-4 Surah Ar-Ruum ini turun pada periode makkiyah, dimana kaum muslimin merupakan kaum tertindas yang tidak mampu melawan kekuasaan lokal Abu Jahal cs. Pendukung Nabi pada saat itu hanya beberapa orang sahabat yang sebagian mendapat siksaan keras dari penguasa. Dalam kelemahan, keputusasaan dan ketidakberdayaan ini, Nabi menyatakan kepada para sahabatnya: “Kalian akan menjadi pemenang dalam sejarah. Bukan kaum adikuasa, kerajaan-kerrajaan besar atau Caesar yang agung, melainkan orang-orang Muslimlah yang akan menguasai dunia. Kalian tidak hanya akan memerintah di Arabia, Makkah atau Quraisy, tetapi juga akan menaklukan Persia, Byzantium, Yaman dan Mesir (yaitu dunia Barat dan Timur sekarang ini) ini” adalah perkataan pemimpin kelompok kecil yang pengikutnya kalau tak mati tak berdaya di bawah siksaan, akan pindah ke Abesinia.

Sejarah kemudian yang membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an. Sepuluh tahun kemudian Romawi dapat mengalahkan Persia, dan pada zaman Khalifah Umar bin Khathab, Romawi dapat ditaklukan kaum Muslimin. Orang-orang beriman yang miskin dan sengsara akan bebas dan bergembira pada hari itu –dengan bantuan Allah- mereka mencapai kemenangan. Allah memberikan kemenangan kepada mereka yang pantas mendapat bantuan-Nya dan berhak untuk menang. “Dia menolong orang yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Mahaperkasa dan Penyayang.” (QS 30:5) Allah akan memberkati kelompok yang lemah, yang berjuang di di jalan-Nya. Lebih tegas lagi ketentuan yang dikemukakan dalam ayat di atas ditegaskan oleh peristiwa-peristiwa tersebut. “Itulah janji Allah. Allah tidak menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.30:6)

Kaum Musyrikin (dan juga kaum Intelektual) tidak mengetahui tentang janji Allah yang merupakan hukum universal yang tidak akan berubah dari masa ke masa “mereka hanya mengetahui kulit kehidupan duniawi saja.” (QS 30:7). Mereka hanya mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang dangkal, siapa yang memiliki senjata paling canggih, yang memiliki tentara paling banyak, yang paling makmur rakyatnya dan pertimbangan-pertimbangan materi lainnya. Al-Qur’an menyuruh agar tidak bergantung hanya kepada pertimbangan-pertimbangan, perhitungan dan analisis politis belaka. Ayat selanjutnya (ayat 8) menyuruh agar orang berfikir tentang kemanusiaan universal, sistem dunia yang ada.

Sayang sekali dalam telaah tafsirnya itu Syari’ati tidak menyebutkan sumber pengambilan yang otentik atau memberikan penjelasan yang lebih jauh terutama bagi penafsiran yang berbeda dengan umumnya para mufassirin. misalnya ketika menafsirkan “…pada waktu itu orang-orang beriman menjadi gembira”, Syari’ati memberikan penjelasan yang berbeda dengan asbabun nuzul yang dikenal dari ayat tersebut. Walaupun demikian, analisis Syari’ati dalam menafsirkan Surat ar-Ruum ini sangat menarik karena sebagaimana sebagian para mufasir bir-ra’yu lainnya mereka berusaha memahami Al-Qur’an dalam konteks dimana mereka hidup. Sehingga Al-Qur’an akan selalu hidup dan selalu akan menjadi jawaban segala persoalan kehidupan dimanapun dan kapanpun selama kaum muslimin mau memahaminya.

Wallahua’lam ipin/05/090401

 


Responses

  1. Sekitar 9 tahun yang lalu saya membaca buku yang sangat menggugah ini. Efeknya, di acara OSPEK jurusan tahun 2000 saya menyampaikan materi yang based on this book….woooww, anak-anak baru berhasil menjadi “pemberontak”. Berikutnya, tahun 2003 anak pertama saya lahir. Saya menamainya Muhammad Munawwar Fikri Thalib, inspired by this book (Munawwar itu bahasa arab untuk ruushan or raushan). semoga Allah bangkitkan ribuan Raushanfekr di bumi nusantara tercinta ini, amin!

  2. Sayajuga mengagumi Ali Shari’ati sebagai seorang revolusionir yang memunculkan istilah raushanfikr. Setahun lalu pun saya menamakan putra saya Muhammad Raushanfikri.
    Pak Dindin…bahasa Indonesia untuk Munawwar itu apasih? tolong dijawab…..terimakasih

  3. assalamualaikum, Pak Sopyan,

    Terimakasih jawabannya. saya sangat menghargai bantuannya. Saya juga kirim balasan emailnya.

    Salam,

    Arief


Leave a comment

Categories